Kamis, 30 Agustus 2018

RESENSI BUKU NOVEL JIWA DI TITIK NOL

RESENSI BUKU
NOVEL JIWA DI TITIK NOL



JUDUL : JIWA DI TITIK NOL
PENULIS : HABIB HIDAYAT
PENERBIT : BERANDA
JENIS : NOVEL
GENRE  : RELIGI
TERBIT : JUNI 2011
HALAMAN : xii ; 240
UKURAN  : 12 X 18 cm


  • SINOPSIS


   Jalinan persahabatan sejati mengalir menembus batas-batas impian dan cinta. Namun jalan tak selamanya lempang. Kerikil tajam dan jurang terjal harus mereka lakoni. Belum lagi tali persahabatan mereka sempat rapuh karena suatu sebab yang terjadi pada Ari.

   Rasa sombong, sok, merasa menjadi “ter” diantara yang lainya acap kali meracuni hati manusia dan menjadi anugerah bagi setan setan untuk menyuburkan lading-ladang ketamakan. Tidak hanya berlaku bagi orang-orang minimbekal agamnaya, tetapi juga bagi mereka yang telah mapan akidah.

   Sementara pada hiruk pihuk kehidupan,cinta mekar dan menjelma mawar amis yang terjebak di kubangan-kubngan nista, sebelum sebelum akhirnya menjadi tragedy dalam satu kemisterian Ramli. Di hadapan cinta takdir tak lagi berarti baik itu memiliki atau memuliakan.


  • ISI


   Novel berjudulkan Jiwa di Titik Nol ini memiliki tiga orang tokoh yang dominan disetiap alur cerita, namun tentu saja tokoh utama dalam kisah tersebut diperankan oleh Fahri dan dua sahabatnya Ramli dan Ari.

   Berawal dari latar belakang ekonomi keluarga Fahri yang memiliki keterbatasan, membuat dirinya memiliki niat untuk putus  dari sekolahnya dan memilih menimba ilmu di sebuah Pondok Pesantren yang berbasis Salafi di salah satu desa bernama Andang Bawang. Pesantren tersebut di asuh oleh Kyai Djunaidi, beliaulah Guru Besar bagi para santri di Pondok Pesantren Al Asror.

  Fahri, Ramli, dan Ari, mereka menjalin sebuah persahabatan yang bisa distatuskan seperti halnya saudara kandung sendiri. Mereka menjalani hidup sebagai santri di Pesantren dengan rukun antar sesama, dan jika salah satu diantra mereka memiliki keresahan dalam hati, maka mereka akan saling memberi solusi ataupun menasehati.
Fahri dan kedua temanya memiliki sebuah konflik yang berbeda ketika mereka menerima kenyataan hidup masing-masing. Mereka memulai hidup mereka sendiri-sendiri.

   Fahri yang dikenal sangat tunduk pada perintah Sang Kyai, dia pun mengambil jalan hidup yang salah, ia pun lupa akan status santrinya dulu saat menimba di Pesantren, ia melanjutkan hidup layaknya preman jalanan. Walaupun fahri melakoni profesi sebagai kuli ia terjerumus kedalam pergaulan bebas karena pengaruh teman-teman kerjanya.

   Dan konflik yang dimiliki Ari ialah dia tidak bisa mengendalikan nafsu yang ia miliki yaitu kelainan jiwa. Adanya rasa menyukai sesama laki-laki, dan terjerumus kedalam tindakan tidak pantas yaitu menjadi sebuah waria di Kota Jakarta.

  Sedangkan Ramli yang menghilang dari Pesantren selepas ia mengikuti lomba Kaligrafi tingkat Provinsi, dia tidak pulang karena ia harus menggantikan posisi Ayahnya yang sebagai Kyai dan pengurus Pondok Pesantren Moderen dikota. Serta Ramli menyembunyikan status dirinya dihadapan teman-teman lainya.

  Walau mereka saat ini memiliki permasalahan yang berbeda ia pun dipertemukan kembali di Rumah Allah yaitu Tanah Suci Mekkah tepatnya pada saat mereka melaksanakan ibadah haji. Itu bermula saat Fahri dan kawanya penasaran dengan suatu pengajian yang diadakan di Pacitan, mereka datang karena Kyai bernama Ramli membuat hati Fahri merasakan rindu pada temanya yang berada dipesantren dulu. Kini mereka berdua telah bertemu dan benar Kyai yang disangka Ramli, yang dulu sebagai pencuri sekarang menjadi seorang Kyai yang ternama dan ia ternyata anak dari seorang Kyai, dan hal tersebut membuat Fahri terkejut. Akhirnya Fahri pun memilih bertaubat dan ikut melaksanakan ibadah haji bersama sahabatnya Ramli ke Tanah Suci. Dan disitulah mereka bertemu juga dengan Ari teman yang memiliki kebribadian perempuan itu kini telah menjadi seorang suami dari wanita bernama Nia, yang juga dulu pernah ada rasa suka dan cinta dengan Fahri.

  Pertemuan mereka bukanlah karena kebetulan belaka, namun doa merekalah yang mempertemukan mereka di Tanah Suci. Disaat mereka masih mencari ilmu dipesantren, mereka pernah berjanji dan berdo'a agar suatu saat mereka bertiga bisa melaksanakan Ibadah Haji bersama.

  Tiga sahabat yang telah kembali dijalan yang benar kini berkumpul kembali dengan cerita dan cinta yang berbeda dari keinginan. Karena Tuhan tau apa yang kita butuhkan dari pada yang kita inginkan.



  • KELEBIHAN


   Kelebihan novel ini ialah kita akan dibawa kedalam suasana di Pesantren dan tentunya kita akan mendapat kosakata baru bernafaskan Arab, bahasa seorang santri. Alur ceritanya sangat mernarik dan kita akan terbawa kedalam cerita saat kita membacanya. Serta novel ini membawa salah satu isi kandungan dari Ayat Al Quran dan Hadist maka kita akan menjumpai konflik yang membawa nafas keislamian.



  • KEKURANGAN


   Kekurangan novel bisa dilihat dari plot bagian akir. Disitu ceritanya berlangsung dengan singkiat-singkat menyebabkan pembaca kehilangan rasa terbawa dalam cerita. Serta kisah yang dialami Fahri ialah tidak pantas untuk Anak Kecil dan dalam pemilihan bahasanya kurang diperhalus agar penyampaian maksud dari kisah tersebut lebih nyaman.


  • KRITIK


   Novel ini mengandung kisah yang tidak pantas dibaca oleh anak dibawah 17 tahun walaupun diawal kisah menceritakan kegigihan seorang santri namun di akhir jalanya cerita ini  akan membawa kita kedunia orang dewasa.


  • KESIMPULAN


   Novel ini sangat baik untuk dibaca karena didalamnya kita akan mengemas banyak ilmu agama, kehidupan, dan cinta.


Judul Buku : Jiwa di Titik Nol
Penulis : Habib Hidayat
Sumber : Perpustakan FBS UNY
(http://uny.ac.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Proklamasi Short Movie by VFIVEX MANDA

Film Proklamasi by vfivex manda art, tim film dari MAN 2 KEBUMEN. Film ini dibuat untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesi...